Sejak era Presiden Soeharto hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, telah terjadi kesepahaman antara pemerintah (dalam hal ini Kementerian Luar Negeri) dengan Komisi I DPR bahwa jumlah Duta Besar non karir dalam setiap periode adalah hanya pada kisaran 10%-15% dari jumlah duta besar.
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kekacauan dalam perencanaan karir Korps Diplomatik Republik Indonesia. Perlu diketahui bahwa jabatan Duta Besar adalah puncak karir seorang diplomat dan harus ditempuh dengan perjuangan berpuluh tahun mengabdi.
Dari angka 10%-15% 'jatah' Duta Besar non karir pun bukan sekedar balas jasa politik dari penguasa (baca: Presiden/Wakil Presiden), tetapi juga mempertimbangkan profesionalisme, kemampuan, kapabilitas dan pengalaman.
Sayangnya, kini Presiden Joko Widodo telah melanggar kesepahaman yg telah berjalan sebelumnya (baca: memaksakan kehendak). Dari 33 calon Duta Besar Republik Indonesia di berbagai negara-negara di dunia, 33% (11 orang) di antaranya adalah relawan(?) pemenangan Jokowi-JK pada pemilihan presiden 2014 lalu.
Lebih rumit lagi, sebelumnya justru Presiden Joko Widodo menghendaki lebih dari 50% dari 33 orang calon Duta Besar ditunjuk langsung olehnya yg tentu saja berasal dari lingkaran relawan(?)-nya. Apakah Presiden Joko Widodo lupa bahwa dalam sistem kepegawaian di mana pun ada yg namanya jenjang karir. Dengan kerja (baca: intervensi) yg kebablasan ini, Presiden Joko Widodo telah merusak tatanan karir para Diplomat Republik Indonesia yg juga adalah Abdi Negara?
Parahnya lagi, Presiden Joko Widodo bersikukuh ingin menempatkan relawan(?)-nya di kantor-kantor Kedutaan Republik Indonesia di negara-negara strategis seperti PBB di New York, Jeneva, Rusia, Belanda, dan London.
Lebih gilanya lagi, para relawan(?) yg juga sering dijuluki RI 1,5 (ke(se)wenangannya di bawah Presiden dan di atas Wakil Presiden dan para Menteri lainnya) mendatangi langsung Kementerian Luar Negeri untuk menyodorkan nama-nama dari relawan(?)-nya untuk dijadikan calon Duta Besar. Tentunya hal ini menimbulkan keresahan tersendiri para Abdi Negara di Kementerian Luar Negeri berikut para Diplomat Karir yg profesional selama ini.
Kondisi carut marut ini, justru kembali diperparah dengan kabar bahwa 'badai' intervensi Presiden Joko Widodo terhadap penunjukkan calon Duta Besar Republik Indonesia tidak berhenti sampai di sini, konon akan ada 'badai jilid 2' yg lebih dahsyat dari 33% Duta Besar yg berasal dari relawan(?)-nya.
Aduhai... Pak Presiden, please deh ah...
(Azzam Mujahid Izzulhaq)
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kekacauan dalam perencanaan karir Korps Diplomatik Republik Indonesia. Perlu diketahui bahwa jabatan Duta Besar adalah puncak karir seorang diplomat dan harus ditempuh dengan perjuangan berpuluh tahun mengabdi.
Dari angka 10%-15% 'jatah' Duta Besar non karir pun bukan sekedar balas jasa politik dari penguasa (baca: Presiden/Wakil Presiden), tetapi juga mempertimbangkan profesionalisme, kemampuan, kapabilitas dan pengalaman.
Sayangnya, kini Presiden Joko Widodo telah melanggar kesepahaman yg telah berjalan sebelumnya (baca: memaksakan kehendak). Dari 33 calon Duta Besar Republik Indonesia di berbagai negara-negara di dunia, 33% (11 orang) di antaranya adalah relawan(?) pemenangan Jokowi-JK pada pemilihan presiden 2014 lalu.
Lebih rumit lagi, sebelumnya justru Presiden Joko Widodo menghendaki lebih dari 50% dari 33 orang calon Duta Besar ditunjuk langsung olehnya yg tentu saja berasal dari lingkaran relawan(?)-nya. Apakah Presiden Joko Widodo lupa bahwa dalam sistem kepegawaian di mana pun ada yg namanya jenjang karir. Dengan kerja (baca: intervensi) yg kebablasan ini, Presiden Joko Widodo telah merusak tatanan karir para Diplomat Republik Indonesia yg juga adalah Abdi Negara?
Parahnya lagi, Presiden Joko Widodo bersikukuh ingin menempatkan relawan(?)-nya di kantor-kantor Kedutaan Republik Indonesia di negara-negara strategis seperti PBB di New York, Jeneva, Rusia, Belanda, dan London.
Lebih gilanya lagi, para relawan(?) yg juga sering dijuluki RI 1,5 (ke(se)wenangannya di bawah Presiden dan di atas Wakil Presiden dan para Menteri lainnya) mendatangi langsung Kementerian Luar Negeri untuk menyodorkan nama-nama dari relawan(?)-nya untuk dijadikan calon Duta Besar. Tentunya hal ini menimbulkan keresahan tersendiri para Abdi Negara di Kementerian Luar Negeri berikut para Diplomat Karir yg profesional selama ini.
Kondisi carut marut ini, justru kembali diperparah dengan kabar bahwa 'badai' intervensi Presiden Joko Widodo terhadap penunjukkan calon Duta Besar Republik Indonesia tidak berhenti sampai di sini, konon akan ada 'badai jilid 2' yg lebih dahsyat dari 33% Duta Besar yg berasal dari relawan(?)-nya.
Aduhai... Pak Presiden, please deh ah...
(Azzam Mujahid Izzulhaq)
Via : portalpiyungan